Sering kita lupa bahwa tanggal 1 Juni adalah hari lahir Pancasila dasar Negara kita yang saat ini menapaki usia ke – 64 th, – apalagi saat ini kita tengah berada di pusaran hiruk pikuknya – aneka kepentingan, kampanye kekuatan menuju kekuasaan – maka keberadaan nilai luhur Pancasila menjadi nomor ke sekian, alias nomor buncit… bahkan terlupakan – itu bagi yang tua, saya tidak tahu bagaimana untuk para pemuda, remaja dan generasi muda Indonesia di berbagai pelosok penjuru tanah air.
Maka saat ini kita bangga ada beberapa bahkan tidak sedikit anak-anak bangsa yang merasa terpanggil untuk memenuhi tugas pengabdian bagi kelangsungan dan kelestarian bangsa Indonesia. Maka nilai-nilai dasar Negara menjadi penting untuk di gelorakan dan di eksplore/digali lebih mendalam lagi.
Seperti disampaikan oleh Yurnaldi di harian Kompas, seusai menonton tampilnya para seniman sadar kebangsaan – atau para seniman negarawan sebagai berikut:
“…/Tanah kami tanah kaya/
laut kami laut kaya/
Kami tidur di atas emas/
Berenang di atas minyak/
Tetapi bukan kami punya”
(Nyayian “Suara dari kemiskinan” ciptaan Franky Sahilatua)
Nyanyian Franky itu mengantar Garin Nugroho “Mendongeng untuk Bangsa” di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Senin 1/6 malam. “sebuah dongeng gabungan atara visi, pengalaman, emosi, empati, dan cara berpihak terhadap masalah masyarakat” ujar Garin.
Dongeng tentang kemiskinan yang dikisahkan oleh Garin membuat bulu kuduk berdiri. Sebelumnya Garin sempat bercerita bahwa di tengah hingar bingar politik saat ini, kita justru kehilangan civic forum dan cara menyampaikan nilai bangsa, yaitu Pancasila.
Maka, dongeng Pancasila sebagai sebagai salah satu seri Dongeng Bangsa adalah cara menumbuhkan nilai civic forum, justru ketika masyarakat politik terkikis oleh politik uang, citra, konsumerisme dan kekuasaan itu sendiri. Masyarakat yang tak cukup respek pada nilai dasar seperti Pancasila karena hanya dianggap dongeng.
Mengharukan
Kolabirasi Garin dan Franky menyampaikan dongeng tidak saja mengharukan, tetapi juga “mencubit” siapa saja dengan pedih dan dalam.
Franky dengan syair-syair lagunya yang sarat dengan tema sosial kemasyarakatan, yang saat ini kerap dimainkan di panggung-oanggung musik nonkomersial, dipadu dongeng-dongeng lokal dan global Garin yang sarat kritik pedas setelah berkaca pada realitas negeri ini.
Saat menggambarkan masyarakat Papua, diceritakan peristiwa 15 tahun lalu ketika masyarakat Papua dengan mudah memanfaatkan alam. Ada seorang pemuda yang setiap Senin mengambil biji kemiri. Selasa menangkap ikan di sungai. Rabu, kamis, dan hari-hari selanjutnya diisi dengan aktifitas yang berbeda.
Kini, aktivistas tersebut tak bisa dilaksanakan lagi seiring dengan hancurnya alam Papua. Sumber daya alam Papua di eksploitasi dan tidak membawa manfaat apa-apa buat masyarakat Papua. Namun, masyarakat Papua yang tidak ikut merusak alam malah dipinggirkan dan dianggap tidak bisa mengikuti perkembangan zaman…
Begitu juga ketika Garin berkisah soal Nusa Tenggara. Franky membawakan lagu “Ika No’o Nio”, cerita soal ikan dan kelapa. Garin bercerita soal upacara adat untuk berterima kasih kepada orangtuanya. Di hadapan masyarakat, anak yang sudah jauh merantau dan berhasil mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tuanya.
Garin menceritakan, ada empat anak yang telah berhasil meraih gelar sarjana di perguruan tinggi terkemuka di Pulau Jawa berkat perjuangan dan kerja keras orangtuanya. Ibu bapaknya mengutang beras, pinjam garam, dan pinjam uang untuk biaya sekolah anak-anaknya.
Ketika sudah berhasil dan kembali ke desa untuk mengikuti upacara adat terima kasih, banyak anak yang sangat bangga pada perjuangan orangtuanya. Mereka bersyukur dan berterima kasih akan jerih payah orangtuanya. Namun, tradisi berterima kasih ini tidak dilakukan para elite politik…
Seusai dongeng dari timur, Garin juga mendongeng soal pertumbuhan ekonomi; sepotong buah apel dari Malang. Kisah betapa produk impor membanjiri negeri ini. “Kita adalah makelar-makelar dari perampok kehidupan untuk diri kita. Kita budak dari Paman Sam,” ujarnya.
Mengalahkan Amerika
Setelah sesi pertama, pengamat politik Sukardi Rinakit menyampaikan cerita global, tentang cita-cita anak China dan India. Sejak kecil mereka sudah disosialisasikan, bukan indoktrinasi, bagaimana tahun 2020 mengalahkan Amerika Serikat.
“Ketika anak kelas VI SD di China ditanya apa cita-citanya, mereka menjawab mengalahkan Amerika. Menguasai hardware mengalahkan Amerika,” ujarnya.
Sementara budayawan Radhar Panca dahana berkisah bagaimana bangsa ini diisi keragaman 460 suku dan 750 bahasa. “Bisa bersatu karena kemampuan berbagai,” ungkapnya.
Menurut Radhar bangsa ini harus menemukan diri lewat dongeng. Dongeng Pancasila.
Setelah sesi Sukardi dan Radhar, Garin kembali mendongeng. Ketika lagu “40” mengalun, Garin mendongeng tentang Mussolini.
“Kita hidup di negeri penuh tapi… Tak memiliki rasa haru. Seperti kata pacar Mussolini, jika tak punya rasa haru, kita pergi....,” ujar Garin.
---------
Proficiat dan terima kasih untuk para founding fathers yang telah menemukan, menggali dan menanam Pancasila sebagai dasar negara, serta para pekarya seni yang selalu berapi-api, membakar gelora jiwa, raga dan karakternya sebagai bangsa Indonesia.
Pancasila adalah dasar negara untuk menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat!
-
0 komentar:
Posting Komentar
your Comment